"Uji kompetensi bisa saja menjadi alat untuk pemetaan aparatur yang ideal. Tapi publik harus kritis, jangan sampai prinsip 'the right man on the right place' hanya menjadi jargon untuk membungkus keputusan politis," ujar Sujarwo.
Ia menilai, meskipun uji kompetensi digelar dengan melibatkan tim penguji dari luar daerah, transparansi dalam proses seleksi dan objektivitas penilaian tetap harus diawasi secara ketat.
"Di tengah euforia pasca pilkada, publik tidak boleh lengah. Apalagi posisi Bupati dan Wakil Bupati saat ini adalah hasil proses politik. Sangat riskan bila mutasi dan rotasi hanya menjadi ajang balas jasa politik atau ajang konsolidasi kekuasaan birokratik," kritiknya.
Menurutnya, penempatan pejabat bukan hanya soal kecocokan dengan pimpinan, tetapi juga menyangkut rekam jejak, kapasitas, dan integritas. Jika aspek-aspek ini diabaikan, maka potensi lahirnya pemerintahan yang lemah dan birokrasi yang stagnan sangat besar.
"Jika orientasi utamanya bukan pada perbaikan kinerja dan pelayanan publik, maka mutasi ini hanya akan menciptakan kegaduhan baru dalam tubuh birokrasi," tegasnya.
Ia pun menantang pasangan Dian-Tuti untuk membuktikan komitmen mereka terhadap reformasi birokrasi, dengan mempublikasikan hasil uji kompetensi secara terbuka dan memastikan bahwa semua proses dilakukan secara meritokratis, bukan transaksional.
"Kalau memang ingin membawa perubahan, jangan takut bersikap tegas terhadap aparatur yang tidak profesional, meski mereka punya kedekatan politik atau emosional," tandasnya.***
Editor : Andri Yanto
Artikel Terkait