JAKARTA, iNews.id - Masyarakat masih ramai membicarakan soal rencana kenaikan tiket masuk Candi Borbudur yang dinilai terlalu mahal, yaitu Rp750 ribu.
Mereka menilai hal itu akan menyulitkan wisatawan lokal jika ingin berkunjung ke sana.
Padahal, Candi Borobudur ini dianggap satu dari ratusan peninggalan candi di Indonesia. Candi Borobudur pun memiliki sejarah, di mana dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno di masa Wangsa Syailendra.
Sosok Raja Samaratungga memang tak banyak yang tahu. Namanya mungkin tak seterkenal Prabu Siliwangi, Hayam Wuruk, dan Gajah Mada, tapi peninggalannya cukup bisa membuat takjub hingga kini.
Sosok Raja Samaratungga muncul dari Prasasti Kayumwungan yang dikeluarkan oleh Rakai Patapan Mpu Palar.
Sebagaimana dikutip dari buku "13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa" tulisan Sri Wintala Achmad, prasasti tersebut merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh raja bawahan Samaratungga.
Konon Candi Borobudur yang dibuat Raja Samaratungga di Dinasti Syailendra dari Kerajaan Mataram Kuno, harus meratakan bukit untuk membuat candi ini.
Sang raja pembuat Candi Borobudur, merupakan raja yang dikenal sebagai raja spesialis pembuat candi di pegunungan.
Tak ada yang tahu kenapa sebutan raja pegunungan disematkan kepada Syailendra, namun karya-karya bangunan candi dan tempat suci yang dibangun di tempat-tempat tinggi atau perbukitan, konon menjadi penyebabnya.
Sang raja yang terkenal dengan kesaktian dan kekuatannya berhasil membuat sebuah monumen kala itu yang terletak di utara Yogyakarta.
Dia membangun sebuah bangunan yang menutupi bagian atas sebuah bukit yang telah dibentuk menjadi serangkaian teras. Lantai dan dinding penahannya ditutup dengan batu.
Menariknya dituliskan Vlekke pada bukunya "Nusantara Sejarah Indonesia", puncak bukit tersebut sengaja diratakan dan dengan demikian dibuat terlihat seperti atap rata sebuah bangunan besar. Di pusat atap ini berdiri sebuah stupa yang berisi, atau dikira berisi, satu patung Buddha.
Di sekeliling stupa inti ini ada banyak stupa batu kecil berhias yang ada di dalamnya berisi patung - patung Dhyani - Buddha. Dinding - dinding teras tertutup dengan pahatan.
Sosok Samaratungga sebagaimana diungkapkan sejarawan Slamet Muljana merupakan anak dari raja Mataram Samaragriwa yang pernah memerintah Medang pada tahun 800 - 812 Masehi.
Pendapat Slamet Muljana ini dikuatkan dengan Prasasti Pongar yang dikeluarkan pada tahun 802 Masehi. Prasasti tersebut menyebutkan Kamboja berhasil melepaskan diri dari penjajahan Jawa.
Pelepasan Kamboja dari kekuasaan Jawa tersebut melatarbelakangi Samaragriwa kemudian membagi wilayah kekuasannya untuk kedua putranya Samaratungga dan Balaputradewa.
Samaratungga mendapatkan wilayah di Jawa (Medang), sedangkan Balaputradewa mendapatkan wilayah di Sumatera.
Sebelum menjadi raja di Medang, Samaratungga terlebih dahulu menjadi kepala daerah Garung yang bergelar Rakryan i Garung atau Rakai Garung. Samaratungga sendiri naik tahta dan bergelar Sri Maharaja Samaratungga.
Semasa menjadi raja, Samaratungga menikahkan putrinya Pramodawardhani dengan Mpu Manuku dari Wangsa Sanjaya yang menjabat sebagai penguasa daerah Patapan pada 807 M berdasarkan Prasasti Munduan.
Saat menjabat sebagai raja pula Samaratungga membangun sebuah bangunan bernama Candi Bhumisambhara, yang merupakan nama lain dari Candi Jinalaya. Samaratungga mempercayakan arsitek Gunadharma.
Selain itu, Samaratungga melibatkan Kumarabacya dari Gandhadwipa (Bangalore) dan Visvawarman, yang merupakan ahli ajaran Buddha Tantra Vijrayana dari Kashmir, India.
Pendapat adanya kisah pendirian Candi megah itu juga sejalan dengan Prasasti Kulrak yang dikeluarkan pada 784 M.
Editor : Jhon Miftah