"Alih-alih melakukan penyesuaian proporsional berdasarkan penurunan masing-masing pos Dana Transfer, justru pada sektor pendidikan diputuskan pemangkasan sepihak pada BPMU. Padahal komponen dana pendidikan dari transfer pusat ke Jawa Barat justru mengalami peningkatan, bukan penurunan,”tegas Maulana asal Fraksi PKB Dapil Jabar 13, Minggu (9/11).
Dia memaparkan beberapa praktik yang menurutnya bermasalah dalam pencairan BPMU 2025. Banyak sekolah swasta mengeluh dipaksa menandatangani persyaratan untuk mencairkan dana, salah satunya menyerahkan ijazah siswa.
"Mereka ditodong untuk menandatangani kesepakatan salah satu poinnya menyerahkan ijazah. Terlepas dari berapa pun tunggakan, datanya tidak sebanding dengan ijazah yang ditahan sebagai barter dengan nominal BPMU yang dicairkan,”ujarnya.
Lebih jauh, Maulana mengatakan ada sekolah yang setelah menandatangani hanya mendapat pencairan sebagian, dan yang paling mencengangkan, anggaran BPMU untuk 2026 itu nol rupiah.
"Artinya, ini jelas merugikan lembaga pendidikan swasta,”katanya.
Politisi PKB itu juga menolak anggapan, bahwa seluruh siswa sekolah swasta berasal dari keluarga mampu.
"Jangan salah sangka, banyak siswa sekolah swasta berasal dari keluarga kurang mampu. Saya jumpai sekolah yang membebankan orang tua hanya Rp30.000 per bulan, ada pula yang memberikan layanan gratis. Jadi kebijakan yang menyamaratakan ini akan mengorbankan anak-anak dari keluarga kurang mampu," tandasnya.
Dirinya meminta, perhatian khusus dialokasikan kepada sekolah-sekolah yang banyak menerima pendaftar tidak mampu secara ekonomi. Termasuk mempertanyakan konsistensi prioritas anggaran pemerintah daerah.
"Kalau benar alasan yang dikemukakan adalah efisiensi, itu bohong. Dari pengecekan saya, justru yang dikurangi adalah dana infrastruktur atau pembangunan fisik, sementara komponen untuk pengembangan sumber daya manusia tak seharusnya dipotong,”katanya.
Menurutnya, pendidikan adalah kewajiban negara, bila sekolah negeri ditanggung penuh, mestinya ada perhatian minimal bagi sekolah swasta yang ikut menampung anak bangsa. Ia menyerukan agar pemerintah provinsi meninjau ulang keputusan ini, dan segera menata ulang mekanisme pencairan agar tidak memaksa sekolah melakukan praktik yang merugikan siswa.
"Jangan biarkan kebijakan efisiensi menjadi alasan menutup akses pendidikan bagi yang paling rentan,”tegasnya.***
Editor : Andri Yanto
Artikel Terkait
