Hal senada disampaikan tokoh sesepuh, Rana Suparman. Bahwa konsep Patanjala telah berhasil menyatukan komunitas dari berbagai daerah aliran sungai besar di Pulau Jawa termasuk Cisanggarung, Citarum, Cimanuk, hingga Cimandiri.
Bahkan, konsep ini sempat diadopsi dalam kebijakan daerah melalui Peraturan Daerah tentang Perlindungan Mata Air. Namun, ia menyesalkan terhambatnya Perda Inisiatif Patanjala di Kementerian Hukum dan HAM hanya karena istilah Patanjala belum masuk dalam KBBI.
"Padahal ini kosakata buhun yang sarat makna pelestarian alam,”tegasnya.
Ia mengungkapkan, selama ini komunitas telah melakukan penelusuran dari hulu di Gunung Sintok/Kendeng hingga hilir di Brebes. Hasilnya, mereka menemukan hal memprihatinkan yakni 70 persen kawasan alam di Kuningan mengalami kerusakan.
Meski tampak hijau, banyak lahan mengalami kekeringan akibat berkurangnya tanaman endemik. "Karena itu, kolaborasi dan komunikasi lintas komunitas serta dukungan pemerintah mutlak diperlukan,”ujarnya sambil menyerukan agar aparatur memahami wilayah kerjanya untuk menyusun konsep perawatan lingkungan yang konkret.
Ia menegaskan, konsep Patanjala bukan bentuk perlawanan pada negara, melainkan wujud bakti kepada tanah air dengan menyampaikan data dan informasi akurat demi lahirnya kebijakan yang tepat.
Editor : Andri Yanto
Artikel Terkait