"Awalnya saya coba bertani padi, tapi hasilnya belum sesuai harapan. Lalu saya dan teman-teman beralih menanam kangkung. Masa panennya cepat, dan hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari situ, kami mulai serius," cerita Apid dengan mata berbinar.
Menurut Apid, salah satu tantangan utama adalah minimnya minat generasi muda terhadap pertanian. Banyak yang lebih tertarik bekerja di kota, menganggap pertanian tak lagi menjanjikan. Padahal, menurutnya, jika digeluti dengan serius, sektor ini bisa menjadi tulang punggung ekonomi yang stabil.
"Pertanian itu bukan pekerjaan kuno. Ini soal ketahanan hidup. Harapan saya, masyarakat bisa bangga dan membeli hasil tani dari desanya sendiri. Kami sedang coba mengembangkan jaringan distribusi agar hasil panen bisa terserap lebih luas," ujarnya.
Tak hanya fokus pada kangkung, mereka pun mulai menjajaki jenis tanaman lain dan menggandeng petani muda dari luar desa. Gerakan kecil ini perlahan membentuk ekosistem pertanian milenial yang kolaboratif dan mandiri.
Melihat geliat tersebut, Hj Tina Wiryawati mengaku optimistis masa depan pertanian Indonesia masih cerah di tangan generasi muda. Ia menekankan pentingnya regenerasi petani, khususnya di wilayah agraris seperti Kuningan.
"Saya sangat bangga melihat semangat mereka. Ini bukti bahwa anak muda bisa jadi motor penggerak kemajuan desa melalui pertanian. Kita semua butuh makan, dan pangan datang dari ladang para petani," ucap politisi Gerindra ini, Jumat (18/4).
Tina juga berkomitmen mendorong program-program penguatan petani milenial di berbagai desa. Menurutnya, kisah para pemuda Desa Singkup patut dijadikan contoh yang bisa menyulut semangat serupa di wilayah lain.
"Insya Allah, kami akan bantu fasilitasi ruang belajar dan promosi. Mereka bisa jadi motivator bagi pemuda lain, membuktikan bahwa bertani bukan hanya pekerjaan, tapi juga panggilan untuk membangun negeri," pungkasnya.***
Editor : Andri Yanto
Artikel Terkait