"Artinya, puluhan unit belum melindungi pekerjanya sama sekali. Padahal, iuran BPJS seharusnya ditanggung penuh oleh Badan Gizi Nasional (BGN),”ungkapnya, Rabu (22/10).
Ia mencontohkan, salah satu insiden kebakaran dapur di SPPG Paniis menegaskan lemahnya perlindungan pekerja. "Korban tidak bisa mendapat klaim BPJS, karena unitnya memang belum terdaftar,”ujarnya.
Pihaknya juga mengkritik sikap tertutup pihak pengelola program. Akses informasi tentang SPPG sangat terbatas bahkan untuk instansi pemerintah.
"Kami kesulitan berkomunikasi, bahkan Pak Bupati pun sulit mendapatkan akses langsung,”tegasnya.
Selain menuntut transparansi, ia mendesak penyelenggara SPPG segera memenuhi kewajiban hukum ketenagakerjaan.
"Minimal ada empat kewajiban utama daftar BPJS Ketenagakerjaan, lapor data pekerja ke Disnaker, penuhi upah sesuai UMK, dan lakukan pelaporan berkala seperti perusahaan lain,”katanya.
Padahal di sisi lain, ia menilai program SPPG sebenarnya memiliki potensi besar menggerakkan ekonomi lokal. Jika rencana total 126 unit terealisasi dan setiap unit menyerap 50 tenaga kerja, maka akan tercipta 6.300 lapangan kerja baru, berkontribusi menekan angka pengangguran sekitar 13 persen dari total 48 ribu penganggur di Kuningan.
Namun ia pesimistis target itu tercapai tanpa pembenahan serius.“Sulit berharap pada proyeksi ideal kalau datanya saja tidak transparan. Kami bahkan tidak bisa memastikan apakah pekerjanya benar warga Kuningan, karena tak ada pelaporan resmi,”jelasnya.
Ia menegaskan, potensi ekonomi dari SPPG tidak akan maksimal bila prinsip dasar ketenagakerjaan diabaikan.
"Kami minta SPPG segera tertib administrasi, patuh aturan, dan utamakan perlindungan bagi pekerja. Kalau tidak, program ini bisa jadi beban sosial baru,”pungkasnya.***
Editor : Andri Yanto
Artikel Terkait