"Kalau fenomena balas dendam politik itu memang terjadi, maka itu artinya bupati terpilih sedang membangun antitesa terhadap dua kandidat lain beserta partai-partai pengusungnya di pilkada kemarin,”ujar Ketua Fraksi PDIP Kuningan, Rana Suparman, Rabu (11/6).
Dirinya menilai, pola penempatan pejabat yang hanya berorientasi pada politik balas jasa sangat berisiko mengganggu stabilitas pemerintahan. Apalagi dalam sistem pemerintahan daerah, Bupati tetap membutuhkan DPRD dalam menyelesaikan berbagai urusan strategis seperti Perda, APBD, LKPj, hingga realisasi semesteran.
"Kalau landasan mutasi adalah pertimbangan politik, maka bupati sedang membuka konflik baru dengan kekuatan politik yang sebenarnya dibutuhkan dalam menjalankan roda pemerintahan," tegasnya.
Sebagai mantan Sekda Kuningan, lanjutnya, bupati terpilih sudah sangat mengenal potensi dan rekam jejak para pejabat eselon II, III, dan IV. Oleh karena itu, ia menilai bahwa kepala daerah seharusnya mampu melihat siapa saja yang layak menduduki posisi strategis, berdasarkan kompetensi dan kinerja.
"Pejabat yang realisasi serapan APBD-nya bagus, LPJ-nya rapi, dan punya kontribusi terhadap target visi-misi pemerintahan sebelumnya, seharusnya tidak digeser hanya karena alasan politik. Ini akan terbaca oleh publik,”ujar politisi senior tersebut.
Rana juga mengingatkan, bahwa publik akan mampu menilai motif di balik setiap penempatan pejabat, apakah karena prestasi atau kepentingan pragmatis.
"Jadi publik akan membaca kenapa pejabat A ditempatkan di sini, pejabat B ditempatkan disitu, motivasinya apa, atas dasar prestasi atau pragmatis, kan itu pasti terbaca dan kita juga tahu karena punya catatan. Jadi kalau memang Kuningan ini disepakati ada sesuatu hal yang perlu diluruskan, maka penempatan itu berdasarkan potensi-potensi yang mampu meluruskan sesuatu hal yang belum lurus,”ucapnya.
Kaitan mendukung atau tidak dalam pilkada, Ia menyebut, jika itu adalah bagian dari dinamika demokrasi yang tidak bisa dihindari. Namun, setelah terpilih, seorang bupati harus berdiri sebagai pemimpin bagi semua, bukan hanya bagi pendukungnya.
"Pertarungan pilkada itu siklus yang tidak bisa dihindari. Pak Dian jadi bupati karena ada siklus itu, kalau tidak ada maka tidak mungkin menjadi bupati. Nah, siklus ini jangan digunakan untuk menghabisi kekuatan lawan. Walaupun tidak tampak, itu akan menimbulkan reaksi. Jadi kacamatanya harus bagaimana mewujudkan visi misi dengan memanfaatkan potensi yang ada. Karena dukung mendukung itu dalam pilkada tidak bisa dihindari,”bebernya.
Dia menegaskan, jika jabatan politik sebagai bupati adalah mandat rakyat. "Bupati itu diberi mandat oleh masyarakat Kuningan. Ketika jadi bupati, ketika jadi anggota dewan, bukan berarti dia punya otoritas untuk memutus konstituen seenaknya. Pilihannya cuma dua, pragmatis atau idealis. Kalau menganggap Kuningan tidak baik-baik saja, dengan beban utang Rp260 miliar, jabatan kosong, kemiskinan ekstrem, pengangguran tinggi, masalah perizinan yang belum beres, maka aparatur juga harus idealis,”katanya.
"Ya pragmatis boleh, idealis wajib, politis bisa dipakai asal untuk perbaikan,”tutupnya.***
Editor : Andri Yanto
Artikel Terkait