APBD Perubahan, Fraksi Gerindra Soroti Risiko Gagal Bayar dan Utang Daerah

"Kita tentu tidak ingin pemicu tragedi gagal bayar akibat penetapan target pendapatan daerah yang terlalu optimis kembali terulang. Fraksi Gerindra berharap penetapan target pendapatan, khususnya PAD yang naik 6,74% dari APBD induk, telah melalui kalkulasi yang cermat dan realistis,”tegasnya.
Fraksi Gerindra juga menagih kejelasan terkait janji dana sebesar Rp25 miliar dari program Pengembangan Kawasan Rebana (Cirebon-Patimban-Kertajati) Tahun 2025. Dana tersebut sebelumnya disebut akan menjadi penopang pembangunan, meski daerah masih dihantui persoalan gagal bayar.
"Kami minta kejelasan, apakah dana tersebut sudah masuk ke dalam APBD induk 2025, baru akan masuk dalam perubahan, atau justru terjadi perubahan kebijakan di tengah jalan? Fraksi perlu kepastian agar tidak muncul euforia tanpa realisasi,”tuturnya.
Lebih lanjut, Fraksi Gerindra menyoroti melonjaknya nilai penerimaan pembiayaan dalam APBD Perubahan 2025 dari sebelumnya Rp25,39 miliar menjadi Rp118,94 miliar. Kenaikan itu sebagian besar bersumber dari rencana pinjaman daerah sebesar Rp95 miliar, selain dari Silpa tahun sebelumnya.
"Ini menjadi catatan tersendiri dalam sejarah keuangan daerah kita. Dengan kondisi gagal bayar yang belum selesai dan beban pinjaman baru, apakah kemampuan fiskal daerah sudah dihitung secara cermat? Apa saja dampaknya terhadap APBD ke depan?”ucapnya penuh tanya.
Fraksi Gerindra pun mengingatkan, bahwa pembahasan APBD maupun perubahan anggaran adalah kewajiban bersama yang harus dilandasi tanggung jawab dan kajian mendalam. Politik anggaran yang sehat, menjadi sangat strategis dalam menjawab dinamika dan kondisi aktual daerah.
"Perubahan anggaran harus diarahkan untuk menjawab persoalan riil masyarakat, bukan sekadar bersifat seremonial. Fokus pembangunan menjelang akhir 2025 harus benar-benar memberi manfaat dan sesuai relevansi dengan situasi saat ini,”katanya.
Sebagai penutup, Fraksi Gerindra menegaskan pentingnya optimalisasi pendapatan asli daerah dari sektor retribusi maupun pengelolaan kekayaan daerah yang selama ini belum maksimal, serta mendorong agar pertumbuhan ekonomi yang positif pasca pandemi menjadi landasan optimisme dalam pengelolaan keuangan yang lebih progresif dan terukur.***
Editor : Andri Yanto