"Sekda itu jabatan strategis yang akan menjadi pembantu utama bupati dan wakil bupati terpilih dalam menjalankan birokrasi. Jadi wajar jika banyak pihak mendorong agar proses seleksinya ditunda, supaya sejalan dengan visi-misi kepala daerah hasil pilihan rakyat,”jelasnya, Minggu (24/8).
Namun, rekomendasi tersebut diabaikan. Bahkan, pengumuman tiga besar hasil selter dilakukan secara tergesa-gesa pada malam hari menjelang pelantikan Pj Bupati baru. Padahal, sesuai tahapan resmi, pengumuman seharusnya baru dilakukan pada pertengahan November 2024.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa keputusan Bupati Kuningan untuk tidak menggunakan hasil selter sebelumnya memiliki dasar hukum yang kuat. Berdasarkan aturan perundang-undangan, bupati terpilih berwenang melaksanakan selter ulang sepanjang ada izin dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"Dalam kasus Kuningan, bupati sudah mengantongi persetujuan Kemendagri. Jadi secara hukum sah. Praktik seperti ini juga bukan hal baru, banyak preseden serupa di daerah maupun kementerian ketika kepala daerah atau pimpinan lembaga merasa perlu mengulang seleksi untuk memastikan keselarasan visi,”tegasnya.
Terkait tudingan pemborosan anggaran, Sujarwo menilai isu tersebut tidak tepat sasaran. Ia menegaskan, biaya yang sudah dikeluarkan untuk selter sebelumnya merupakan kebijakan dari Pj Bupati terdahulu.
"Kalau pun dianggap ada pemborosan, itu tidak bisa dibebankan kepada bupati definitif. Justru selter ulang ini menjadi langkah korektif agar pejabat Sekda yang terpilih benar-benar mendukung program pembangunan daerah sesuai arah kebijakan kepala daerah hasil pilihan rakyat,”ujarnya.
Ia juga mengingatkan, bahwa pengisian jabatan strategis seperti Sekda seharusnya dilaksanakan secara tepat waktu, transparan, dan memperhatikan kesinambungan kepemimpinan. Dengan begitu, roda birokrasi daerah dapat berjalan optimal demi kepentingan masyarakat luas.***
Editor : Andri Yanto
Artikel Terkait