"Angklung ini ada tanda-tandanya. Kita mainkan dengan teknik yang benar, tangan kiri memegang bagian atas, tangan kanan di bawah,”ujar Fendi saat memberi arahan sebelum penampilan dimulai.
Bupati Dian Rachmat Yanuar, yang juga dikenal sebagai inisiator Kuningan sebagai Kabupaten Angklung Diatonis, menyampaikan apresiasi atas penampilan tersebut.
"Harmoni angklung ini menggambarkan semangat kolaborasi dalam dunia pendidikan yang menyatu dengan kearifan lokal. Ini bukan sekadar pertunjukan, tetapi ekspresi budaya yang membentuk karakter bangsa,”tuturnya.
Ia menambahkan, angklung tidak hanya menjadi simbol seni, tetapi juga alat pemersatu lintas generasi.
"Melalui angklung, kita wariskan nilai gotong royong, kebersamaan, dan cinta budaya kepada generasi penerus,” ujarnya.
Kisah angklung diatonis sendiri berakar kuat di tanah Kuningan. Inovasi ini bermula pada tahun 1938, saat Daeng Soetigna, seorang guru SMP di Kuningan, belajar kepada tokoh masyarakat Citangtu bernama Muhammad Sotari atau yang akrab disapa Pak Kucit. Dari tangan merekalah lahir angklung dengan tangga nada diatonis berbeda dari angklung tradisional yang hanya mengenal nada pelog dan salendro.
Tangga nada diatonis, yang umum digunakan dalam musik modern seperti pop, jazz, bahkan rock, menjadikan angklung semakin fleksibel dan relevan. Inovasi ini sekaligus menempatkan angklung sebagai alat musik tradisional yang mampu berdialog dengan dunia.
Peringatan Hardiknas di Kuningan tahun ini bukan hanya perayaan pendidikan, tetapi juga peneguhan komitmen terhadap pelestarian budaya. Di tengah tantangan zaman, angklung diatonis menjadi simbol bahwa warisan leluhur bisa tumbuh dan berinovasi bersama semangat zaman.***
Editor : Andri Yanto
Artikel Terkait