Kemenag Kikis Piramida Budaya Perkosaan, Salah satunya adalah Bersiul dan Menatap

Tim Liputan
Kemenag kikis piramida budaya perkosaan, salah satunya adalah bersiul dan menatap. (Foto: DOK.iNews.id)

JAKARTA, iNews.Kuningan.id Kemenag kikis piramida budaya perkosaan, salah satunya adalah bersiul dan menatap. Kementerian Agama (Kemenag) telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 soal Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Kementerian Agama.

Regulasi ini terdiri dari tujuh bab yakni: ketentuan umum; bentuk kekerasan seksual; pencegahan; penanganan; pelaporan, pemantauan dan evaluasi; sanksi; dan ketentuan penutup yang mencakup 20 pasal.

"Peraturan ini untuk melindungi peserta didik, pendidik, tenaga pendidikan, pimpinan, penyelenggara satuan dan pemangku kepentingan lainnya,">webinar Partai Perindo bertajuk 'Kriteria Kekerasan Seksual Versi Kementerian Agama Mempertegas Atau Membingungkan?' pada Jumat (28/10/2022).

Selain itu, terdapat 16 kategori kekerasan seksual yang diatur dalam PMA Nomor 73 tahun 2022. Menjadi perhatian masyarakat dari 16 kategori dalam PMA tersebut yakni terdapat poin bersiul dan menatap dianggap sebagai kekerasan seksual.

"Definisi kekerasan seksual menjadi masalah ketika menatap dengan nuansa seksual dan bersiul dengan nafsu seksual," ujar Anna.

Artinya, ketika seorang laki-laki menatap perempuan dengan nuansa seksual disertai ucapan, bersiul dan kedipan mata di ruang publik maka dianggap sebagai bentuk pelecehan seksual.

"Kalau di luar negeri itu masuk dalam kategori catcalling, bersiul itu whistling masuk pelecehan seksual," ungkapnya.

Anna mengakui ketika PMA Nomor 73 diterbitkan banyak pihak yang mempertanyakan mengapa siulan dan menatap masuk dalam kategori pelecehan seksual. Alasannya, catcalling dan whistling merupakan bagian di dalam rape culture pyramid atau piramida budaya perkosaan.

"Dalam piramida budaya perkosaan atau rape culture pyramid yang masuk pelecehan itu suatu bentuk yang masuk dalam kekerasan seksual yang paling bawah (tatapan dan siulan)," jelas Anna.

Ia menjelaskan pihaknya memasukkan tingkat kekerasan seksual dari yang paling rendah sampai ke atas di PMA sebagai upaya mendidik dan membangun kesadaran masyarakat.
"Soal mengapa bersiul dan menatap menjadi masalah adalah bagian dari pendidikan untuk membangun kesadaran masyarakat," tegas Anna.

Menurutnya kesadaran masyarakat harus dibangun tentang keadilan gender dan hak asasi manusia. Pasalnya, masyarakat adil gender akan menolak segala bentuk stereotype, diskriminasi dan kekerasan seksual.

"Tujuan dari peraturan ini di satuan pendidikan karena kami ingin menciptakan lingkungan yang aman, ramah dan inklusif," pungkasnya.

Editor : Miftahudin

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network