Dukung Moratorium Gubernur, Aktivis Ingatkan Bahaya Eksploitasi Lereng Ciremai
KUNINGAN,iNEWS.ID–Keputusan Gubernur Jawa Barat yang menandatangani moratorium penerbitan izin pembangunan perumahan di seluruh kabupaten/kota se-Jawa Barat, menuai apresiasi dari berbagai kalangan.
Kebijakan tersebut dinilai sebagai langkah berani dan progresif dalam upaya menekan risiko bencana hidrometeorologi. Namun, bagi kawasan dengan tekanan ekologis tinggi seperti lereng Gunung Ciremai, moratorium perumahan disebut belum menyentuh akar persoalan.
Pegiat sosial sekaligus Inisiator Gerakan KITA, Ikhsan Marzuki, menilai kebijakan Gubernur harus dimaknai sebagai sinyal kuat bahwa pembangunan fisik yang tidak terkendali telah melampaui daya dukung lingkungan. Menurutnya, moratorium seharusnya tidak dibatasi pada sektor perumahan semata.
"Langkah Gubernur sangat tepat, tetapi belum cukup. Moratorium perumahan perlu diperluas menjadi moratorium ekologis, termasuk menghentikan sementara pembangunan wisata, glamping, resort, hingga kafe di kawasan resapan air Ciremai,”ujar Ikhsan, Selasa (16/12).
Dalam lima tahun terakhir, lanjut Ikhsan, pembangunan sektor wisata di lereng Gunung Ciremai khususnya wilayah Kuningan bagian utara dan timur terus meningkat secara masif. Lahan miring yang sebelumnya berupa hutan pinus dan perkebunan rakyat kini berubah menjadi kawasan wisata dengan fasilitas modern.
Meski tidak masuk kategori perumahan, alih fungsi lahan tersebut dinilai memiliki dampak ekologis yang sama seriusnya. Hilangnya area resapan air, meningkatnya limpasan permukaan, serta menurunnya kemampuan tanah menyerap air hujan menjadi ancaman nyata bagi keseimbangan lingkungan.
"Jangan tertipu dengan istilah wisata alam. Faktanya, banyak kawasan wisata justru menebangi vegetasi, mengeraskan permukaan tanah, dan menambah beban limbah. Ini sama berbahayanya dengan pembangunan perumahan di kawasan rawan bencana,”tegasnya.
Ia juga menyoroti banyaknya izin usaha yang muncul melalui skema desa wisata atau kepemilikan pribadi, sehingga kerap luput dari kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan pengawasan tata ruang. Kondisi ini membuat pembangunan terus merangsek ke kawasan yang seharusnya menjadi sabuk hijau penyimpan air.
Gunung Ciremai sendiri merupakan puncak tertinggi di Jawa Barat dan menjadi sumber utama air bagi sejumlah daerah aliran sungai (DAS) penting seperti Cisanggarung, Cijalutung, dan Cikijing. Kerusakan kawasan resapan di lereng gunung tersebut berpotensi memicu dampak domino bagi wilayah hilir, mulai dari kekeringan saat musim kemarau hingga banjir bandang di musim hujan.
"Inilah wajah krisis ekologis yang sedang kita hadapi. Fungsi resapan air terus hilang, sementara pembangunan berjalan tanpa kendali. Jika tidak segera dihentikan, longsor dan banjir bandang hanya tinggal menunggu waktu,”katanya.
Data BPBD Jawa Barat menunjukkan sebagian besar titik rawan longsor berada di wilayah perbukitan dan pegunungan, termasuk kawasan sekitar Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Ironisnya, di wilayah penyangga yang seharusnya dijaga ketat, justru terus bermunculan villa, resort, dan glamping baru setiap tahun.
Gerakan KITA mendorong agar moratorium tidak berhenti sebagai kebijakan administratif semata. Pemerintah daerah diminta berani menetapkan zona konservasi permanen di kawasan resapan air Ciremai serta meninjau ulang seluruh izin usaha wisata yang telah terbit.
"Jika Gubernur bisa menghentikan izin perumahan demi mitigasi bencana, Bupati Kuningan seharusnya juga mampu melakukan langkah serupa untuk menyelamatkan Ciremai. Ini bukan soal menghambat ekonomi, tetapi soal keberlanjutan hidup,”ujarnya.
Selain itu, Ikhsan mengusulkan dilakukannya audit ekologis terhadap seluruh aktivitas ekonomi di kawasan Ciremai, termasuk yang berdiri di atas tanah milik pribadi. Ia menegaskan bahwa hak kepemilikan lahan tidak boleh mengabaikan fungsi ekologis yang melekat di dalamnya.
Menurutnya, moratorium yang dicanangkan Gubernur Jawa Barat merupakan momentum penting untuk mengembalikan akal sehat dalam tata ruang dan arah pembangunan daerah. Selama ini, pembangunan kerap dimaknai sebatas ekspansi fisik, bukan peningkatan kualitas hidup.
"Kita harus menilai pembangunan bukan dari banyaknya hotel atau kafe yang berdiri, tetapi dari seberapa baik kita menjaga air, tanah, dan hutan. Tanpa itu semua, ekonomi wisata pun pada akhirnya akan mati,”terangnya.
Ia juga menegaskan, keputusan progresif Gubernur Jawa Barat harus menjadi dasar hukum dan moral yang kuat bagi pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kabupaten Kuningan, untuk mengembalikan moratorium pembangunan perumahan di Kecamatan Kuningan dan Cigugur yang sempat dicabut beberapa waktu lalu.
"Kebijakan Gubernur ini menegaskan arah pembangunan Jawa Barat harus berbasis keselamatan ekologis. Sudah sepatutnya Pemkab Kuningan mengikuti arah yang sama dengan mengembalikan moratorium di wilayah-wilayah rawan,”pungkasnya.***
Editor : Andri Yanto