Antara Halusinasi dan Realita: Kuningan Jadi Kabupaten Pariwisata Masih Sekadar Slogan?

KUNINGAN,iNEWS.ID–Predikat Kuningan sebagai Kabupaten Pariwisata sudah lama digaungkan pemerintah daerah. Namun, pertanyaan krusial tetap menggantung yakni sejauh mana pariwisata benar-benar memberi kontribusi nyata terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Kuningan.
Pertanyaan itu kembali mengemuka dalam diskusi publik yang digelar Waroeng Rakyat bertema Antara Halusinasi dan Realita Kuningan Kabupaten Pariwisata. Diskusi menghadirkan sejumlah narasumber lintas sektor, mulai dari aktor nasional sekaligus pegiat media sosial Ence Bagus, Kadisporapar Kuningan Asep Budi, pengelola usaha wisata Endun Abdullah, akademisi Brian Sadhana, hingga anggota DPRD Kuningan Komisi II Sri Laelasari.
Diskusi yang dihadiri pemerhati lingkungan, mahasiswa, pelaku wisata, aktivis, dan pegiat media sosial itu berlangsung hangat dan penuh kritik.
Ence Bagus menilai, klaim Kuningan sebagai kabupaten pariwisata tak akan berarti tanpa keterlibatan masyarakat. Ia menekankan pentingnya membangun sense of belonging atau rasa kepemilikan di tengah warga.
"Tagline dan branding pariwisata jangan sekadar jargon di atas kertas. Masyarakat harus dilibatkan sejak awal, agar muncul rasa memiliki. Tanpa itu, promosi sebesar apa pun hanya akan jadi slogan,”ujar Ence yang juga aktor film, Jumat (29/8).
Ia mencontohkan polemik perubahan tagline Kuningan Beu menjadi Kuningan Moyan yang ramai diperbincangkan. Menurutnya, perdebatan itu menunjukkan minimnya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan strategis.
Kritik lebih tajam datang dari Sri Laelasari. Legislator DPRD Kuningan itu menyoroti belum adanya integrasi pariwisata dengan ekonomi rakyat kecil.
"Banyak destinasi wisata berdiri, tapi tidak memberi dampak nyata bagi warga sekitar. Seharusnya setiap tempat wisata punya galeri UMKM lokal, sehingga wisata tidak hanya jadi ajang foto-foto, tapi juga mendorong perputaran ekonomi masyarakat,”tegasnya.
Menurutnya, tanpa keberpihakan pada pelaku usaha kecil, pariwisata hanya akan menguntungkan segelintir pihak, sementara warga di sekitar lokasi wisata tetap hidup dalam keterbatasan.
Kuningan sesungguhnya memiliki paket lengkap wisata berupa alam, kuliner, religi, hingga budaya. Namun, pengelolaannya dinilai masih setengah hati.
Diskusi menekankan pentingnya menyeimbangkan eksplorasi potensi dengan pelestarian lingkungan agar pariwisata tidak sekadar jual habis alam Kuningan.
Kadisporapar, Asep Budi, mengakui kritik yang muncul dalam forum tersebut. Ia menegaskan, pihaknya terbuka menerima masukan untuk menyusun kebijakan yang lebih relevan.
"Diskusi seperti ini penting bagi kami untuk mendengar langsung apa yang jadi keresahan publik. Kritik dan masukan akan kami catat, lalu dibawa menjadi bahan perumusan program,”katanya.
Meski kritik mendominasi, optimisme tetap muncul. Akademisi UBHI, Brian Sadhana, melihat potensi besar pariwisata Kuningan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
"Jika dikelola serius, pariwisata bisa jadi penyumbang utama PAD. Bahkan saya mendorong agar tiap desa punya minimal satu sarjana pariwisata, supaya SDM kita siap mengembangkan sektor ini,”ungkapnya.
Sementara Ketua Pelaksana Diskusi, Ega Maulana, mengajak semua pihak untuk tidak berhenti pada wacana.
"Terima kasih kepada para narasumber dan peserta yang telah kritis menyampaikan pandangan. Tantangan kita adalah memastikan masukan ini tidak berhenti di forum, tetapi benar-benar menjadi langkah nyata,”ujarnya.
Diskusi tersebut seakan menegaskan, predikat Kuningan sebagai Kabupaten Pariwisata masih lebih banyak hidup dalam slogan daripada realita. Tanpa keterlibatan masyarakat, dukungan kebijakan berpihak, dan optimalisasi potensi, jargon pariwisata dikhawatirkan hanya jadi hiasan baliho tanpa dampak pada kesejahteraan rakyat.***
Editor : Andri Yanto