KUNINGAN,iNEWS.ID–Suasana depan Pendopo Bupati Kuningan memanas, saat gabungan mahasiswa dari PMII dan para pedagang kaki lima (PKL) menggelar aksi unjuk rasa soal kebijakan relokasi yang dinilai menyengsarakan rakyat kecil.
Massa menuntut pemerintah daerah mencabut larangan berdagang bagi PKL di kawasan Pertokoan Siliwangi. Sebab kebijakan pemindahan ke Komplek Puspa Siliwangi, membuat pedagang sepi dan tidak menguntungkan.
"Kami merasa dimiskinkan oleh kebijakan pemerintah. Setelah direlokasi, kami tak lagi bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari," kata Iwan, salah satu pedagang yang ikut aksi.
Ia mengaku, tempat relokasi sepi pembeli dan membuat pendapatan mereka anjlok drastis.
Aksi yang berlangsung penuh simbol perlawanan ini diwarnai teatrikal sindiran terhadap kepala daerah. Dalam adegan yang diperagakan, massa menggambarkan seorang pemimpin yang hanya memberi janji manis tanpa realisasi.
Poster-poster bertuliskan Janji Meleset Bukan Melesat dan Relokasi Bukan Solusi, Tapi Pemiskinan turut dibentangkan.
Mahasiswa yang tergabung dalam PMII menyatakan sikap tegas menolak narasi pembangunan yang menyingkirkan rakyat kecil. Ketua PMII Kuningan, Dhika Purbaya, menyebut, kehadiran mereka adalah bentuk keberpihakan terhadap suara-suara yang selama ini diabaikan.
"Pedagang kaki lima adalah pejuang keluarga, bukan pengganggu ketertiban. Pemerintah harusnya mengayomi, bukan menindas lewat aturan yang tak memihak,”kata Dhika dalam orasinya, Rabu (2/7).
Ia pun menuding janji kampanye Bupati Kuningan, Dr H Dian Rachmat Yanuar, sebagai ilusi semata jika tidak diikuti kebijakan pro rakyat.
Dalam aksi tersebut, mahasiswa dan pedagang juga membandingkan perlakuan pemerintah terhadap pedagang di lokasi lain. Mereka menyebut, pedagang di Taman Kota diperbolehkan berjualan saat akhir pekan, sementara mereka diusir meski hanya berdagang secara sederhana dengan berkeliling di kawasan Pertokoan Siliwangi.
"Kalau yang lain boleh, kenapa kami tidak? Kami hanya ingin diizinkan berjualan kembali di sekitar pertokoan Siliwangi, atau paling tidak diberi ruang pada Sabtu-Minggu. Bukankah keadilan itu seharusnya merata?”ujar seorang pedagang perempuan dengan mata berkaca-kaca.
Aksi sempat memanas ketika massa membakar ban di depan sejumlah pejabat Pemda Kuningan yang datang menemui mereka. Namun massa tetap menuntut kehadiran langsung Bupati untuk memberikan pernyataan sikap.
"Kami sudah bosan dengan janji perwakilan. Yang kami minta adalah Bupati Kuningan datang langsung, mendengar kami, dan menyatakan sikap tegas untuk mencabut kebijakan ini,” tegas Dhika.
Hingga aksi bubar, kehadiran Bupati Kuningan tak kunjung terwujud. Mahasiswa dan pedagang pun menegaskan, aksi ini bukan yang terakhir jika pemerintah terus menutup telinga atas jeritan rakyat kecil.***
Editor : Andri Yanto
Artikel Terkait